The Platform (Review) - Halo halo, kali ini aku lagi mau review film yang sudah sejak bulan Maret lalu aku tonton namun baru berkesempatan untuk mereview nya sekarang, gapapa kan yah?
Jadi kali ini aku mau review film di Netflix yang berjudul The Platform yang mana merupakan film garapan Galder Gaztelu (sutradara) asal Spanyol yang menyuguhkan secara terang-terangan bentuk kasta-kasta dalam ekonomi sosial, lebih tepatnya bagaimana praktis dari sitem Kapitalisme ini berlangsung yang kerap terjadi dan terasa di kehidupan nyata ini.
The Platform: Adegan gore yang cukup disturbing buat ditonton
Kenpa aku bilang adegan gore? Karena ya memang cukup disturbing banget, bahkan kalo gakuat dengan cipratan darah bahkan ada sebuah scene berupa goresan dari tubuh yang dilakukan, maka dari awal kalian jangan nonton ini deh (saran aku yah), cukup baca review nya aja, eh tapi kalo habis baca review lalu tertarik dan penasaran banget-banget pengen nonton, ya monggo.
Beberapa bulan ini sejak April-Mei, The Platform banyak diperbincangkan terkait ending yang menggantung lebih kepada, harus berpikir seperti apa nih para penonton untuk menilai dari ending The Platform ini? Dimana ceritanya ini berawal dari sukarelawan diploma yang tiba-tiba masuk dalam sebuah penjara berbentuk kotak vertikal, dimana lantainya ini bertingkat gitu hingga lantai terbawah yaitu lantai 333.
Disetiap lantai akan berisi dua narapidana yang dibagian tengahnya itu terdapat meja mimbar yang bisa bergerak naik dan turun dan berhenti di lantai tersebut selama 10 menit saja, untuk para pidana bisa menikmati yang setiap hidangannya sudah diperhitungkan dari lantai 1 dan itu semuanya enak-enak btw.
The Platform: Gambaran sistem Kapitalisme
Narapidana itu sendiri bernama Goreng, dan itu yang aku bilang tadi, hebatnya film The Platform ini bisa menyajikan keunikan dari sisi nama pemainnya yaitu Goreng, Timagasi yang mana adalah lelaki tua satu sel pertama berbarengan dengan dirinya yang juga aneh, seperti mengalami halusinasi hingga pada sebuah moment ia ingin membunuh Goreng.
Pada penjara tersebut, boleh membawa satu benda saja, dan yang dipilih Goreng untuk ia bawa adalah sebuah buku yang juga diolok-olok oleh Trimagasi. Lalu setiap satu bulan sekali, keadaan tiap narapidana ini akan berubah nasibnya. Mereka akan merayakan dimana mengalami kondisi yang sangat kelaparan hingga mau tidak mau akan menjadi kanibal dengan sesama demi bisa bertahan hidup.
Secara makanan itu sangat bisa dinikmati oleh orang-orang yang ada di lantai 1 hingga lantai 55 saja, sisanya hingga lantai 333? Ya mau tidak mau akan mati, tentu ada peraturan yang membuat Goreng tersentak adalah dari cara makan yang begitu rakus, dilakukan oleh orang-orang teratas, tanpa peduli bagaimana nasib orang-orang yang ada di lantai terdasar, lantai 333.
Jika kalian beranggapan, bisa disimpan kan makanannya karena tersedia juga buah-buahan, maka hukumannya akan berlaku yaitu lantai yang kalian tempati akan berubah menjadi panas, dan lama kelamaan kalian akan terbakar, itu ketika kalian menyimpan makanan, sehingga ketika meja mimbar itu datang, ya langsung dimakan saat itu juga.
Ga heran, adegan naik ke atas meja, kaki menginjak makanan lainnya menyelimuti adegan di The Platfrom ini guis. Dengan misi yang ingin disampaikan bahwa ketika dari atas itu sebenarnya hadir dengan paket komplit, namun orang-orang yang tidak merasa sadar dan inilah bentuk sistem kapitalisme, yang kenyang akan merasa sangat kenyang, dan yang lapar akan merasa sangat lapar. Bentuk dari yang kaya akan tambah kaya, begitu juga berlaku sebaliknya, yang miskin akan tambah miskin berupa keadaan saat ini.
Sehingga Goreng berinisiatif untuk memberitahukan bahwa jangan rakus, dan sisakan makana untuk lainta-lantai dibawah, sehingga keadilan dirasakan hingga lantai 333. Yang bikin aneh dari cerita The Platform ini adalah pencarian anak kecil dari seoarang wanita yang selalu ikut meneliti dari lantai ke lantai namun tidak pernah bertemu dengan anak tersebut, membuat Goreng ingin menyimpan Pannacota sampai di lantai dasar dan membawa anak kecil itu ke lantai 1.
Dan kesimpulannya menurut aku disini tuh lebih kepada rasaa humanis saat kita berada pada ruangan terpenjara seperti itu dan harus dibagi-bagi secara merata, tanpa ada yang membagikan. Bagaimana sikap kita ketika berada di lantai 10 dengan berada di lantai 200 apakah akan sama? Dari kalian ada yang udah nonton The Platform ini? Tinggalkan di kolom komentar ya!
Uww jd pengen nonton The Platform mbak. Serius sejak pandemi ini nonton film baru sekali doang, hhh
BalasHapusWah, saya malah takut nontonnya. Nggak suka adegan seram.
BalasHapusKayaknya menarik ya nontonnya. Saya belum pernah lihat, jadi penasaran pengen nonton The Platform ini
BalasHapusSudah beberapa bulan ya film ini di Netflix. Aku malas nontonnya karena brutal dan takut mual.
BalasHapusDari cuplikan foto tersebut kek nya menantang ini filmnya. Bikin deg-degan, tapi penasaran. Belum menontonnya sih
BalasHapusMenarik kayaknya, bakalan jadi list nih setelah nyelesain nonton Money Heist hehe.
BalasHapusPesan moralnya dapet banget Dys.. Trus pas lantai 333 gimana itu Makin kenyang dong yah
BalasHapusaku belum pernah nonton ini sih tapi sepertinya bagus untuk ditonton meski aku bukan penggemar film macam ini hehe
BalasHapuslebih suka drakor drakoran gitu aku mah..